Selasa, 24 April 2018

Penyelesaian Sengketa


-         Faradiva Florensi (22216618)
-         Nizma Fidyatul Ilmi (25216465)
-         Widya Hardea Sari (27216637)

Mayoritas Sengketa Klaim Dimenangkan Perusahaan Asuransi

Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) mengungkapkan, mayoritas sengketa terkait klaim asuransi dimenangkan oleh perusahaan asuransi. Hal tersebut, lantaran banyak nasabah yang tidak membaca polis secara detail saat membeli produk asuransi.

BMAI merupakan perhimpunan dari anggota Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), dan Asosiasi Asuransi Jaminan Sosial Indonesia (AAJSI). Tugas lembaga ini salah satunya menjadi mediator penyelesaian sengketa antara nasabah dengan perusahaan asuransi.

"Pemenangnya hampir separuh-separuh untuk nasabah dan perusahaan asuransi, tetapi condong dimenangkan oleh asuransi," tutur Ketua BMAI Frans Lamury usai menghadiri sebuah acara di Jakarta, Sabtu (30/9).

Frans mengaku, nasabah sering kalah saat bersengketa terkait klaim asuransi karena sering mengabaikan isi polis. Padahal, nasabah asuransi seharusnya membaca dengan detail setiap klusula dan persyaratan yang tercantum dalam polis, sebelum menandatanganinya. Di sisi lain, agen asuransi juga harus menjelaskan setiap poin dalam perjanjian agar tidak menyesatkan nasabah.

"Seringkali, ketika agen asuransi menjelaskan si nasabah tidak terlalu tertarik karena harus mengerjakan bisnis lain. Jadi kendalanya seperti itu," ujarnya.

Ketika nasabah telah menandatangani polis, maka nasabah otomatis dianggap telah memahami seluruh isi polis. Jika nasabah belum memahami ketentuan polis yang diikutinya, nasabah bisa kaget saat harus memenuhi persyaratan untuk mengajukan klaim. Akibat tidak memenuhi persyaratan, klaim nasabah bisa ditolak oleh perusahaan.

"Jadi, nasabah tidak siap. Begitu beli polis, nasabah merasa sudah membayar sehingga tidak membaca (ketentuan polis). Begitu terjadi klaim, orang mulai melihat polis dan ternyata ada beberapa persyaratan yang tidak terpenuhi," jelasnya.

Frans memaparkan lembaganya menangani sekitar enam hingga delapan sengketa terkait penolakan klaim per bulannya. Namun, tren jumlah sengketa yang diadukan cenderung menurun.

Frans menyebutkan sengketa rata-rata dapat diselesaikan di tingkat mediasi. Jika mediasi tak berhasil menyelesaikan sengketa, maka nasabah bisa mengajukan sengketa itu ke tingkat pengadilan atau ajudikasi. Jika tak rampung juga baru ke tingkat arbitrase.

Seharusnya, lanjut Frans, setiap perusahaan asuransi yang secara resmi menolak pembayaran klaim kepada nasabah, harus menginformasikan keberadaan BMAI. Dengan demikian, jika nasabah menolak keputusan klaim perusahaan asuransi, nasabah bisa membawanya ke BMAI.

Frans menekankan, mediasi antara nasabah dengan perusahaan asuransi oleh BMAI tidak dipungut biaya alias gratis. Dengan catatan, nilai yang dipersengketakan untuk asuransi jiwa berada di bawah 500 juta, sedangkan untuk asuransi umum nilainya di bawah Rp750 juta.

Sebagai catatan, penyelesaian sengketa di BMAI merupakan sengketa bersifat perdata dan penyelesaikan dilakukan secara tertutup.

PENYELESAIAN MASALAH MEDIASI
Mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.

Mediasi disebut emergent mediation apabila mediatornya merupakan anggota dari sistem sosial pihak-pihak yang bertikai, memiliki hubungan lama dengan pihak-pihak yang bertikai, berkepentingan dengan hasil perundingan, atau ingin memberikan kesan yang baik misalnya sebagai teman yang solider.

Pengertian mediasi menurut Priatna Abdurrasyid yaitu suatu proses damai di mana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yg mengatur pertemuan antara 2 pihak atau lebih yg bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa biaya besar besar tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Pihak ketiga (mediator) berperan sebagai pendamping dan penasihat. Sebagai salah satu mekanisme menyelesaikan sengketa, mediasi digunakan di banyak masyarakat dan diterapkan kepada berbagai kasus konflik.


A.    JENIS MEDIASI
·       Medium quod
Yaitu sesuatu yang sendiri diketahui dan dalam mengetahui sesuatu itu, sesuatu yang lain yang diketahui. Contoh yang biasa diberikan untuk mediasi ini adalah premis-premis dalam silogisme. Pengetahuan tentang premis-premis membawa kita kepada pengetahuan tentang kesimpulan. Contoh lain : lampu merah lampu lalu lintas berwarna merah harus berhenti harus berhenti, jadi kendaraan harus berhenti.
·       Medium quo
Yaitu sesuatu yang sendiri tidak disadari tetapi dapat diketahui melalui sesuatu yang lain. Contohnya : lensa kacamata yang kita pakai, kita melihat benda-benda di sekitar kita tetapi kacamata itu sendiri tidak secara langsung kita sadari.
·       Medium in quo
Sesuatu yang tidak disadari secara langsung dan yang di dalamnya diketahui sesuatu yang lain. Contohnya : kaca spion di mobil, supir mobil melihat kendaran di belakang dan hal-hal lain di sekitarnya dalam kaca spion sendiri tidak secara langsung ia sadari.

B.    PERILAKU MEDIATOR
·       Problem solving atau integrasi, yaitu usaha menemukan jalan keluar “win-win solution”. Salah satu perkiraan mengatakan bahwa mediator akan menerapkan pendekatan ini bila mereka memiliki perhatian yang besar terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa jalan keluar menang-menang sangat mungkin dicapai.
·       Kompensasi atau usaha mengajak pihak-pihak yang bertikai supaya membuat konsesi atau mencapai kesepakatan dengan menjanjikan mereka imbalan atau keuntungan. Salah satu perkiraan mengatakan bahwa mediator akan menggunakan strategi ini bila mereka memiliki perhatian yang besar terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa jalan keluar menang-menang sulit dicapai.
·       Tekanan, yaitu tindakan memaksa pihak-pihak yang bertikai supaya membuat konsesi atau sepakat dengan memberikan hukuman atau ancaman hukuman. Salah satu perkiraan mengatakan bahwa mediator akan menggunakan strategi ini bila mereka memiliki perhatian yang sedikit terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa kesepakatan yang menang-menang sulit dicapai.
·       Diam atau inaction, yaitu ketika mediator secara sengaja membiarkan pihak-pihak yang bertikai menangani konflik mereka sendiri. Mediator diduga akan menggunakan strategi ini bila mereka memiliki perhatian yang sedikit terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa kemungkinan mencapai kesepakatan “win-win solution”.

C.    HAL-HAL YANG PERLU DIHINDARI DALAM MEDIASI
·       Ketidaksiapan mediator
·       Kehilangan kendali oleh mediator
·       Kehilangan netralitas
·       Mengabaikan emosi

D.    TAHAPAN MEDIASI
Mendefinisikan permasalahan:
·       Memulai proses mediasi
·       Mengungkap kepentingan tersembunyi
·       Merumuskan masalah dan menyusun agenda

Memecahkan permasalahan:
·       Mengembangkan pilihan-pilihan (options)
·       Menganalisis pilihan-pilihan
·       Proses tawar menawar akhir
·       Mencapai kesepakatan

E.    EFEKTIVITAS MEDIASI

·       Fairness, yaitu menyangkut perhatian mediator terhadap kesetaraan, pengendalian pihak-pihak yang bertikai, dan perlindungan terhadap hak-hak individu.
·       Kepuasan pihak-pihak yang bertikai, yaitu apakah intervensi mediator membantu memenuhi tujuan pihak-pihak yang bertikai, memperkecil kerusakan, meningkatkan peran serta, dan mendorong komitmen.
·       Efektivitas umum, seperti kualitas intervensi, permanen tidaknya intervensi, dapat tidaknya diterapkan.
·       Efisiensi dalam waktu, biaya, dan kegiatan.
·       Apakah kesepakatan tercapai atau tidak.

F.    MEDIASI DI INDONESIA

·       Faktor Ekonomis, di mana mediasi sebagai altematif penyelesaian sengketa memiliki potensi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa yang lebih ekonomis, baik dari sudut pandang biaya maupun waktu.
·       Faktor ruang lingkup yang dibahas, mediasi memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel.
·       Faktor pembinaan hubungan baik, di mana mediasi yang mengandalkan cara-cara penyelesaian yang kooperatif sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya hubungan baik antar manusia (relationship), yang telah berlangsung maupun yang akan datang.



Sumber:

Senin, 02 April 2018

Perlindungan Konsumen

Softskill "Aspek Hukum Dalam Ekonomi"
KELOMPOK 7.

  • FARADIVA FLORENSI M
  • NIZMA FIDYATUL ILMI
  • WIDYA HARDEA SARI

Pengertian Konsumen


Menurut Undang-undang Perlindunan Konsumen, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali (Jawa: kulakan), maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa sekarang ini bukan suatu rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja sebenarnya, oleh karena itu produsen yang memiliki prinsip holistic marketing sudah seharusnya memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen.


Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, asas perlindungan konsumen adalah :
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:
1) Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
2) Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3) Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual. d.Asas keamanan dan keselamatan konsumen.
4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5) Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hokum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.

Memperhatikan isi dari Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah bangsa negara Republik Indonesia.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan inti pokok-nya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian asas yaitu:
1. asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;
2. asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; dan
3. asas kepastian hukum.
Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok diatas yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan, dan asas kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan asas kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan dengan asas efisien karena menurut Himawan bahwa: “Hukum yang berwibawa adalah hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa penyimpangan”.

Tujuan Perlindungan Konsumen
Undang- undang Pasal 3 No. 8 Tahun 1999, tentang Tujuan Perlindungan Konsumen:
Ø Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
Ø Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang atau jasa;
Ø Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
Ø Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
Ø Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
Ø Meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak Konsumen:

·         Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.
·         Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
·         Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa.
·         Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan.
·         Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
·         Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
·         Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
·         Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi datau penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·         Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban Konsumen:
·         Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
·         Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa.
·         Membayar dengan nilai tukar yang disepakati.
·         Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha menurut pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah
1.       Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
2.       Hak untuk mendapat perlindungan hukum dan tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
3.       Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
4.       Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.
5.       Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban Pelaku Usaha
Kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Undang-undang Ketentuan pasal 7 undang-undang perlindungan konsumen :
1.       Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya .
2.       Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
3.       Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
4.       Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku.
5.       Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan atau garansi atas barang yang dibuat atau yang diperdgangkan.
6.       Memberi kompensasi ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan atau pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan .
Memberi kompensasi ganti rugi atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-etentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:

·         Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 ).
Pasal 8 ayat (2), (3) dan (4) Undang-undang Perlindungan Konsumen.
-          Ayat 2: “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.”
-          Ayat 3: “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.”
-          Ayat 4: “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.”
·         Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16).
Pasal 9
-          Ayat 1:
1. Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
2. Barang tersebut dalam keadaan baik atau baru;
3. Barang atau jasa tersebut telah mendapatkan atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
4. Barang atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atu afliasi;
5. Barang atau jasa tersebut tersedia;
6. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
7. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
8. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
9. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang atau jasa lain;
10. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
11. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
-          Ayat 2: “Barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang untuk diperdagangkan.”
-          Ayat 3: “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang melanjutkan penawaran, promosi dan pengiklanan barang atau jasa tersebut.”

Pasal 10:
1. Harga atau tarif suatu barang atau jasa;
2. Kegunaan suatu barang atau jasa;
3. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang atau jasa;
4. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
5. Bahaya penggunaan barang atau jasa.

Pasal 11:
1. Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
2. Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
3. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
4. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
5. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
6. Menaikan harga atau tarif barang dan jasa sebelum melakukan obral.

Pasal 12 dan 13:
1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklanan suatu barang atau  jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan atau diiklankan (Pasal 12).
2. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklanan suatu barang atau  jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang atau jasa lain secara cuma-Cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberika tidak sebagaimana yang dijanjikan (Pasal 13 ayat 1).
3. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklanan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang atau jasa lain (Pasal 13 ayat 2).

Pasal 14:
1. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
2. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
3. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
4. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

Pasal 15:
“Ditentukan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa dilarang melakukan dengan cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.”

Pasal 16:
1. Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian;
2. Tidak menepati janji atas suatu pelayanan atau prestasi.

·         Larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17).
Pasal 17:
1. Mengelabui konsumen  mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunanaan dan harga barang atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang atau jasa;
2. Mengelabui jaminan atau garansi terhadap barang atau jasa;
3. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang atau jasa;
4. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang atau jasa;
5. Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang   bersangkutan;
6. Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

Mari kita bahas satu per satu. Yang pertama ialah larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi. Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa yang:

·         Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
·         Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.
·         Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
·         Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
·         Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
·         Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, e-tiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang atau jasa tersebut.
·         Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
·         Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
·         Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat atau isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang atau dibuat.
·         Tidak mencantumkan informasi atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

 Sumber:
Buku:
ü Sidabalok, Janus. “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”. Bandung: PT. Citra Adytia Bakti. 2006
ü Purwaningsih, Endang. “Hukum Bisnis”. Bogor: PT. Ghalia Indonesia. 2010
ü Az Nasution. “Hukum dan Konsumen”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1995

Blog: